
Peringatan reformasi ditandai dengan lengsernya kekuasaan Orde Baru Soeharto, dimana kekuasaan pada masa itu tersentral pada kekuasaan pusat, pemerintah daerah nyaris tidak punya daya politik untuk mendorong kehidupan sosial, sekalipun pada masa itu pemerintah daerah diakui sebagai kekuasaan yang otonom melalui konsep otonomi daerah. Sentralisasi dalam hal ini memiliki makna kegemukan kekuasaan (executive heavy) atas kontrol oleh kekuasaan pemerintah pusat. Selain sentralistik, kekuasaan masa orde baru menekan berbagai macam upaya kritik oleh masyarakat sipil, biasanya, tekanan pada kritik ini lumrah terjadi tatkala mengganggu “stabilitas pembangunan”, kondisi ini mempengaruhi kehidupan demokrasi pada masa itu, minim kontrol baik antar lembaga negara maupun masyarakat sipil. Oleh karenanya, masa Orde Baru disebut sebagai “otoritarianisme” atas nama pembangunan.
Kehidupan demokrasi yang demikian menyebabkan masalah yang akut dalam kehidupan bernegara, kekosongan kontrol atas kekuasaan membuat elit politik menjadi beringas dan korupsi merajalela pada masa Orde Baru. Perilaku korupsi pada masa Orde Baru dinilai dilakukan secara terpusat, hanya oleh Soeharto dan kroni-kroninya. Sebab itu, lengsernya kekuasaan Soeharto 1998 menjadi tabir awal dalam proses transisi demokratisasi. Satu per satu lembaga mulai dibentuk di era Reformasi. KPK misalnya, dibentuk untuk penanganan korupsi, MK untuk menegakkan supremasi hukum, Komnas HAM diperkuat untuk proteksi HAM, dan lain sebagainya. Kalau mau dirangkum, setidaknya era Reformasi menggambarkan agenda dari 6 (enam) poin yang menjadi tuntutan; 1) mengadili Soeharto dan kroni-kroninya; 2) amandemen UUD 1945; 3) menghapus dwi-fungsi ABRI; 4) otonomi daerah seluas-luasnya; 5) menegakkan supremasi hukum; 6) penghapusan KKN.
Sejak 25 tahun reformasi bergulir, lalu bagaimana kondisi terkini? Sejauh mana kehidupan demokrasi di era Reformasi memberikan dampak signifikan untuk kehidupan rakyat, khususnya dalam konteks agenda pemberantasan korupsi? Pertanyaan ini akan menjadi pemandu untuk mengoreksi “25 Tahun Reformasi”.
Korupsi Meningkat, KPK Lumpuh
Situasi politik di Indonesia pasca Orde Baru memang banyak mengalami perubahan, kecaman terhadap masyarakat sipil tidak se-brutal masa Orde Baru, artinya demokrasi sipil dan politik lebih terbuka di masa reformasi. Namun di lain sisi, era “keterbukaan” ini tak merubah lanskap politik secara keseluruhan. Jika di Orde Baru yang menjadi elit kuat hanya terpusat pada Soeharto, kini di era Reformasi kekuatan elit semakin mencair dan liar, dalam istilah lain disebutkan dari “oligarki sultanistik ke oligarki sipil”. Watak oligarki inilah yang tidak hilang dalam kekuasaan era reformasi. Situasi ini yang kemudian mempengaruhi masalah seperti korupsi justru tidak mengalami perubahan signifikan.
Tidak ada perbaikan yang signifikan dalam pemberantasan korupsi di era Reformasi. Kita bisa melihat melalui banyak laporan data yang menunjukkan semakin meningkatnya budaya korupsi ini. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada 1261 kasus korupsi yang terjadi sepanjang 2004 hingga januari 2022, berdasarkan wilayahnya, tingkat korupsi paling banyak terjadi pada pemerintahan pusat, yakni 409 kasus, disusul Jawa Barat dengan 118 kasus, dan 109 kasus terjadi di Jawa Timur, kemudian 84 kasus di Sumatera Utara, Kepulauan Riau 68 kasus, Jakarta 64 Kasus, Sumatera Selatan 55 Kasus, Jawa Tengah 53 Kasus. Sementara total pelaku adalah sebanyak 1.442, secara keseluruhan, pelaku tindak pidana korupsi paling banyak yakni dari pihak swasta, kisaran 372 pelaku. Data ini merangkum dari awal-awal tahun reformasi hingga 2022.
Selain data dari KPK, laporan TII (2022) juga menunjukkan masalah yang sama, data ini merangkum budaya korupsi di Indonesia melalui indeks persepsi korupsi (IPK). Tahun 2022 IPK Indonesia menurun, tercatat 34 poin dari skala 0-100 pada tahun 2022, angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya, semakin rendah nilainya terindikasi semakin korup negara tersebut. Penurunan IPK ini juga menjatuhkan urutan Indonesia secara statistik merosot pada peringkat ke-110 secara global (sebelumnya peringkat ke-96). Menurunnya IPK Indonesia ini mengindikasikan persepsi publik terhadap korupsi di jabatan publik memburuk sepanjang tahun lalu.
Melalui data diatas, kita mendapatkan angka yang melambung tinggi yang menunjukkan tidak jauh berbeda dengan elit di zaman orde baru. Perbedaannya adalah elit yang korup tidak lagi tersentral pada elit pusat seperti Soeharto dan kroninya, di era Reformasi elit korup menjalar dari pemerintah pusat dan daerah.
Selain budaya korupsi semakin beringas, ironisnya kooptasi terhadap lembaga reformis seperti KPK juga terjadi, sebagaimana puncaknya terjadi ketika revisi UU KPK 2019 dan peralihan pegawai KPK baru yang bermasalah. Dalam catatan ICW (2021), sejak KPK diambil alih oleh pimpinan Firli Bahuri, hanya ada tujuh OTT pada 2020, ini beda jauh dengan pola OTT pada tahun-tahun sebelumnya, 2016-2019 jumlah OTT berkisar antara 18-30 per tahun. Dalam hal penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, saat ini sebagian besar kasus adalah warisan dari kepemimpinan KPK sebelumnya. Pada intinya, KPK telah berubah secara mendasar, ujung tombak pemberantasan korupsi yang awalnya tangguh dan independen ini kini menjadi lembaga penegak hukum dengan segudang masalah, seperti bocornya rencana penyelidikan, pelanggaran kode etik pimpinan KPK yang baru, tebang pilih kasus, dan condong mudah dikontrol untuk kepentingan politik tertentu. Masalah-masalah ini muncul pasca revisi KPK. Kebijakan ini menjadi kontradiksi dengan semangat reformasi itu sendiri.