Bangun Persatuan Gerakan melalui Pengorganisasian, Lawan Rezim Oligarki!

BERBAGI

Palu sidang diketuk sebagai penanda disahkannya RKUHP sebagai KUHP. Tepat pada 6 Desember 2022, DPR bersama Pemerintah memaksimalkan otoritasnya memaksa seluruh rakyat tunduk terhadap kepentingan kekuasaan. Sebuah undang-undang yang mengancam banyak aspek kehidupan demokrasi, dari Living Law (Hukum yang hidup di masyarakat), Hukuman Mati, larangan penyebaran paham yang bertentangan dengan pancasila, penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, contempt of court (penghormatan terhadap lembaga peradilan), kohabitasi (hidup bersama diluar perkawinan), tumpang tindih ketentuan UU ITE, larangan unjuk rasa, potensi kekebalan hukum terhadap pelaku kejahatan HAM masa lalu dan masa kini, meringankan hukuman bagi koruptor, dan korporasi sulit dihukum atas kejahatan yang dilakukan.

Produk hukum kolonial yang kembali disahkan semakin menunjukkan watak rezim, berikut kepentingan kekuasaan dibaliknya, Oligarki. Sebelumnya, beberapa produk hukum seperti UU KPK, UU Minerba, UU Cipta Kerja, serta beberapa ketentuan lain yang dihasilkan dari politik legislasi ugal-ugalan DPR bersama pemerintah. Sebuah representasi komplit dari elit kekuasaan: elit pebisnis plus elit politik-birokrat. Kedepan, omnibus akan menjadi metode yang sering digunakan untuk pembentukan dan merevisi sejumlah undang-undang, salah duanya seperti RUU SisDikNas dan RUU Kesehatan yang lagi digencarkan.

Fakta di atas memperjelas, demokrasi tidak sekedar dibajak, tetapi menyerupai demokrasi oligarki/kapitalis. Demokrasi yang seluruh institusi publik: sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan dikuasai segelintir elit saja. Dalam demokrasi seperti ini, negara tak ubahnya komite penyelenggara kepentingan elit oligarki. Rakyat pada satu sisi dipaksa mensubsidi negara melalui pajak dan retribusi, dan dilain sisi secara bersamaan seluruh penderitaan yang terjadi akibat ulah rezim dibebankan di pundak rakyatnya sendiri.

Kompleksitas persoalan dalam KUHP ini mesti ditangkap sebagai suatu skenario elit kekuasaan untuk membentengi diri mereka sendiri. Mereka menggunakan instrumen demokrasi untuk melahirkan produk hukum yang anti demokrasi. Dengan begitu, seluruh kepentingan kekuasaan yang telah diperoleh, termasuk yang sementara tengah diupayakan dapat berlangsung tanpa hambatan, bahkan untuk tujuan penguasaan paripurna, DPR bersama Pemerintah bersepakat mengesahkan aturan yang lebih seram ketimbang era kolonial dulu. Alih-alih memperbaiki, KUHP justru menjadi alat kekuasaan yang melegalkan kesewenang-wenangan elit penguasa. 

Politik legislasi yang ugal-ugalan telah menjadi kebiasaan para elit pemerintah dan DPR selama beberapa tahun silam. Dari pelucutan KPK melalui UU No 19/2019 pada 2019 lalu, UU Minerba yang menguntungkan oligarki tambang, Cipta Kerja yang sekalipun diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai Inkonstitusional bersyarat, namun tetap saja tak diindahkan. Disaat bersamaan, kritik dan protes dari kalangan masyarakat dibungkam, tidak sedikit pula yang dikriminalisasi bahkan kebringasan alat “pukul negara” telah menjatuhkan korban jiwa. Kedepan, pemberangusan demokrasi semakin tak terbendung, lagi-lagi KUHP menjadi alat pukul kekuasaan yang paripurna.

Situasi ini mesti ditangkap sebagai kondisi keterpurukan demokrasi, dari kecacatan menuju kematian. Demokrasi hanyalah teks yang selalu diucapkan para elit di setiap panggung politik, tetapi praktiknya serupa otoritarianisme Orba. demokrasi hanya sekedar jubah, gagah di badan, isinya hanyalah sekumpulan benalu yang kelak menjadi monster menyeramkan bagi rakyat. 

Hal ini jika dibiarkan, hanya akan mengancam tidak hanya demokrasi, tetapi seluruh aspek kehidupan bernegara, bahkan pada situasi tertentu kekuasaan semacam ini benar-benar mematikan jiwa demokrasi. Jika dalam sepuluh tahun terakhir indeks demokrasi cenderung terjun bebas, dapat dibayangkan sepuluh tahun kedepan, bahkan melebihi itu seraya pemerintah mengimplementasikan KUHP kehidupan demokrasi benar-benar diwujudkan dalam bentuk yang menyeramkan. Ia tidak lagi cacat, juga mustahil untuk mati, ia tumbuh, berkembang dalam genggaman segelintir elit semata. Demokrasi oligarki. 

Oleh karenanya mesti diselamatkan. Memulai upaya-upaya konkrit guna merancang perlawanan alternatif, mengkonsolidasikan dan mengorganisasikan kembali kekuatan bersama, bangun poros gerakan yang masif dan intensif. pengorganisasian menjadi pekerjaan utama gerakan sosial hari ini. Dimulai dengan pembacaan situasi, pemetaan isu dan analisis situasi konkrit. Selanjutnya, merancang strategi taktis pengorganisasian yang kontinuitas. Aksi pengorganisiran dapat dimulai dengan memanfaatkan seluruh sumber daya potensial gerakan yang tersisa, dari kelompok buruh, tani, gerakan perempuan, masyarakat miskin kota, hingga pengorganisiran gerakan mahasiswa yang pada akhirnya membentuk organisasi progresif dan militan. 

Pendidikan politik dan penyadaran masa terus diupayakan disamping mendorong aksi massa tetap berlangsung, kampanye terukur dan intensif menyoal bahaya serta ancaman kehidupan sosial demokrasi dalam KUHP. Bangun narasi oligarki sebagai musuh bersama. Pada akhirnya, gerakan sosial semakin terkonsolidasi, terorganisir dan memiliki agenda perubahan yang terukur. Dan, dalam skala massif, gerakan sosial progresif mampu merobohkan benteng kekuasaan oligarki, selanjutnya membangun kembali struktur dan tatanan baru yang lebih pro terhadap kepentingan rakyat. Sebagai penutup, mengutip pernyataan Eko Prasetyo, dalam bukunya “Bangkitlah Gerakan Mahasiswa” bahwa “yakinlah, jika seluruh masyarakat bersatu maka untuk menjatuhkan serta memperbaiki nilai-nilai sosial masyarakat pasti akan terwujud. Jumlah penguasa tamak dan egois itu cuman sedikit, jika semua bisa bersatu dan berani melawan pasti kemerdekaan sejati akan terwujud”.

Saatnya, gerakan sosial dimanapun, bersatulah! Lawan Oligarki, Rebut Kedaulatan Rakyat!

Penulis : Atha Nursasi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.