Dana Partai Politik : Kepentingan Oligarki diatas Segalanya

BERBAGI
Sumber Gambar : cnnindonesia

Partai politik adalah organisasi yang besar karena berskala nasional. Oleh karena itu, partai politik membutuhkan sumber daya yang besar juga, baik dalam bentuk materil maupun imateril. Sumber daya ini ibarat bahan bakar, apabila sumber daya tidak terpenuhi maka partai politik tidak dapat berjalan. Di sisi lain, partai politik memiliki peran yang strategis dalam negara demokrasi. Partai politik merupakan penghubung aspirasi masyarakat kepada pemerintah. Hatta juga menyebut partai politik sebagai pengorganisasi opini publik. Sehingga, dapat dikatakan jika partai politik tidak difasilitasi, implikasinya adalah aspirasi masyarakat akan tidak ada artinya.

Kebutuhan

Sebagai organisasi yang besar, berskala nasional, dan orientasinya politik, partai politik memiliki berbagai jenis kegiatan. Kegiatan itu meliputi operasional kesekretariatan, pendidikan politik dan kaderisasi, konsolidasi organisasi, untuk publik atau publik expose, perjalanan dinas pengurus, dll. Untuk melaksanakan kegiatan yang berskala nasional misalnya, Golkar pada 2016 ditaksir membutuhkan Rp 85 miliar untuk menyelenggarakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub).

Tidak ada jumlah yang pasti terkait jumlah dana yang dibutuhkan untuk menjalankan partai politik karena memang tidak pernah ada partai politik yang mempublikasikan keuangannya secara menyeluruh dan transparan. Veri Junaidi, dkk (2011), dalam publikasinya menyebut PAN mengabiskan dana Rp51,2 miliar sedangkan pendapatan yang diketahui hanya Rp1,2 miliar. Faisal, dkk (2018), menunjukkan data yang lebih fantastis, partai politik di tingkat pusat menghabiskan Rp50 miliar, di tingkat provinsi menghabiskan Rp68 miliar, dan di tingkat kabupaten/kota mengahabiskan Rp257 miliar. Totalnya adalah Rp375 miliar.

Strategi partai politik untuk menang dalam pertarungan politik membutuhkan banyak dana. Misalnya, Winters (2013) berpendapat para calon presiden yang serius bersaing dalam Pemilu 2014 (dan pemilihan kepala daerah) harus membeli akses media, yang dalam beberapa kasus berarti memberi sekaligus stasiun televisi dan radio serta surat kabar. Pada saat pra pemilu, partai politik juga membutuhkan (bahkan membeli) survei atau polling supaya dapat mencalonkan calon yang benar-benar diinginkan oleh masyarakat atau justru menggunakan survei atau pooling untuk mempengaruhi opini publik dan meningkatkan elektabilitas calonnya.

Ketersediaan

Partai politik membutuhkan berbagai jenis sumber daya supaya dapat berjalan. Dalam hal keuangan, partai politik dapat memperoleh bantuan dari iuran anggota, bantuan yang sah menurut hukum, dan bantuan dari APBN/APBD. Namun, terdapat batasan terhadap nominal bantuan tersebut. Bantuan dari perseorangan bukan anggota partai politik maksimal Rp1 miliar dalam satu tahun anggaran dan dari perusahaan maksimal Rp7,5 miliar anggaran. Bantuan dari APBN/APBD hanya diberikan kepada partai politik yang mendapat kursi di DPR dan/atau DPRD Pronvisi/Kabupaten/Kota.

Secara naluri, partai politik akan mencari cara untuk memenuhi kebutuhannya. Partai politik tidak akan bisa berjalan jika hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah. Data yang diolah oleh Veri Junaidi, dkk menunjukkan subsidi negara untuk PAN pada tahun 2011 hanya Rp677 juta. Jumlah itu hanya dapat menutupi separuh biaya perjalanan dinas PAN yang besarnya Rp1,2 miliar, belum belanja-belanja yang lain. Secara persentase, bantuan politik dari APBN hanya menutupi 1,32% dari total belanja PAN pertahun.

Berikut merupakan data alokasi dana bantuan 10 partai politik terbesar pada Pemilu 2014:

Partai PolitikJumlah SuaraDana Parpol (Rp)
PDIP23.681.4712,5 miliar
Golkar18.432.3121,9 miliar
Gerindra14.760.3711,5 miliar
Demokrat12.728.9131,3 miliar
PKB11.298.9571,2 miliar
PAN9.481.6211,02 miliar
PKS8.480.204915 juta
Nasdem8.402.812907 juta
PPP8.157.488881 juta
Hanura6.579.498710 juta
Tabel 1 Sumber: https://tirto.id/bercermin-dari-negara-lain-soal-dana-parpol-cvw7

Nominal tersebut sangat jomplang jika dibanding kebutuhan belanja partai politik. Sehingga, tidak ada cara lain bagi partai politik selain mencari sumber bantuan dana dari luar pemerintah.

Praktisnya: Oligark dan Mahar

Belakangan ini publik dibikin ramai dengan pernyataan Fahri Hamzah dalam program Total Politik soal ‘bandar’ partai politik. Dia menyatakan partai politik tidak dapat mengikuti kontestasi Pemilu apabila bandar belum sepakat atau belum ada bandar yang mau membiayai. Akun twitter @kurawa mengatakan cara menghitung biaya mahar partai politik kepada bandar adalah jumlah suara dikali tarif persuara.

Sebenarnya, pembahasan keterlibatan bandar, bohir, cukong, atau oligark dalam dalam pembiayaan politik di Indonesia itu sudah santer sejak lama, terutama sejak dipublikasikannya tesis Jeffrey A Winters berjudul Oligarchy. Dalam tuisannya yang lain, berjudul Oligarchy and Democracy in Indonesia, menunjukkan pencalonan Presiden atau Kepala Daerah tak lepas dari peran oligark. Kekuatan finansial partai politik berasal dari modal dari oligark (Iradhad Taqwa Sihidi, dkk, 2019: 212).

Berdasar tulisan dari Widiarsi Agustina, dkk berjudul Who Owns Jokowi? dalam majalah Tempo, 24 Juli 2012, pencalonan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta didukung oleh para oligark. Pengusung utamanya adalah Hasim Djojohadikusumo dan saudaranya Letnan Jenderal (Purn.) Parbowo Subianto, serta pada detik-detik terakhir didukung oleh Megawati Sukarnoputri.

Kemudian, praktik meminta mahar juga jamak dalam perpolitikan di Indonesia. Supaya dapat dicalonkan menjadi Gubernur Jawa Timur oleh Gerindra, La Nyalla Matalliti mengaku dimintai Rp40 miliar. Menurut Andi Arief, Sandiaga Uno memberikan mahar sebesar Rp500 miliar masing-masing kepada PKS dan PAN untuk dapat menjadi calon presiden (Feri Amsari, dkk, 2019: 98). Penelitian dari KPK tahun 2016 juga menjelaskan untuk dapat menjadi calon bupati atau walikota membutuhkan mahar Rp20 – 30 miliar, sedangkan calon gubernur mencapai Rp100 miliar.

Ketergantungan partai politik dengan uang sebenarnya tidak dapat dihitung secara kuantitatif karena tidak pernah ada data yang komprehensif dan konkrit yang terpublikasi terkait aliran dana partai politik. Publik hanya dapat mengetahui LHP BPK terhadap penerimaan dan pengeluaran bantuan partai politik dari APBN/APBD. Walaupun undang-undang juga menyatakan jika pengelolaan keuangan partai politik dilakukan secara transparan dan akuntabel, pada praktiknya masih belum pernah terjadi atau ambigu karena tidak ada sanksi apabila partai politik tidak melakukannya.

Akan tetapi, secara kualitatif ketergantungan partai politik terhadap uang sangat kasat mata. Praktik pemilihan tender terhadap suatu proyek di suatu daerah sengaja dimenangkan kepada suatu perusahaan karena telah membiayai kampanyenya. Secara terang-teragan, Ahok saat berdialog dengan Prabowo terkait pencalonannya sebagai wakil Jokowi menyatakan, “Lalu bagaimana cara saya membalas budi? Apakah Anda ingin proyek MRT diserahkan kepada Pak Hasim?”. Dan masih banyak sekali praktik-praktik yang dapat dijadikan contoh termasuk melalui peraturan perundang-undangan yang (dengan sengaja) memudahkan investor dalam berinvestasi.

Penulis : Averos Aulia Ananta Nur (Relawan Malang Corruption Watch)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.