
Sejatinya pelaksanaan pemilu yang baik merupakan salah satu syarat pokok suatu negara untuk dapat dianggap menjadi demokratis atau tidak. Karena salah satu fungsi pokok pemilu adalah merotasi elit dan menjadi syarat legitimasi politik yang akan mengatur jalannya kekuasaan. Jadi, dapat dibilang pelaksanaan pemilu sebagai hulu percaturan politik, jika dibagian hulu percaturan ini terkesan tidak adil, maka kemungkinan besar bagian hilir pun demikian, permainan yang tidak adil akan mendapatkan hasil yang tidak adil pula.
Sayangnya, aroma ketidakadilan percaturan ini semakin hari semakin tercium. Satu-persatu aturan main mulai dipreteli bahkan sebelum permainan dimulai, tentu dalam Pemilu kita bisa menganalogikan KPU sebagai “wasit”, meskipun pada dasarnya KPU bukan satu-satunya dan tidak semua wasit memiliki karakter yang sama. Sebagai wasit, KPU bukan hanya punya kewenangan sebagai “wasit lapangan” tapi juga bisa mengatur jalannya permainan.
Disinilah masalahnya, wasit untuk percaturan politik 2024 terkesan berpihak pada pemain tertentu dan cenderung mudah diatur oleh tim kontestan. Beberapa diantaranya permasalahan “wasit” ini bahkan dimulai ketika seleksi pemain, juga membuka celah bagi pemain yang sebetulnya tidak layak untuk bermain. Selain itu, juga menghapus pemain yang seharusnya punya kuota bermain. Lebih jelasnya, berikut kontroversi sang wasit untuk Pemilu 2024;
1.Kecurangan verifikasi parpol
Kontroversi pertama yang paling menonjol di awal-awal adalah dugaan kecurangan ketika verifikasi partai politik calon peserta pemilu 2024. Dugaan kecurangan ini muncul ketika ada laporan dari KPUD di beberapa kabupaten/kota yang diminta untuk meloloskan partai politik tertentu oleh KPUD yang lain. Yakni dengan cara mengubah status verifikasi partai politik yang sebelumnya dikategorikan sebagai TMS (tidak memenuhi syarat) menjadi MS (memenuhi syarat).
Koalisi masyarakat sipil dan KPUD melaporkan dugaan kecurangan ini ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Hasil sidang DKPP menjatuhkan sanksi peringatan ke beberapa KPUD yang terlibat dalam kecurangan ini, termasuk sanksi peringatan kepada Ketua KPU RI.
2. Membiarkan mantan terpidana korupsi menjadi calon
KPU membuka celah bagi mantan terpidana korupsi untuk dapat mengikuti pemilihan legislatif 2024 tanpa melewati masa jeda waktu lima tahun. Sikap ini dapat dilihat melalui Peraturan KPU No 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Pasal 11 ayat (6) dan Pasal 18 ayat (2) serta Peraturan KPU No 11/2023 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD Pasal 18 ayat (2). Melalui dua peraturan tersebut menyebutkan bahwa mantan terpidana korupsi diperbolehkan maju sebagai calon anggota legislatif tanpa harus melewati masa jeda waktu lima tahun sepanjang vonis pengadilan memuat pencabutan hak politik.
Peraturan tersebut jelas membangkang atas putusan MK No 87/PUU-XX/2022 dan Putusan MK No 12/PUU-XXI/2023. Dua putusan MK ini, padahal sama sekali tidak memberikan pengecualian syarat berupa adanya pencabutan hak politik jika mantan terpidana korupsi ingin maju sebagai calon anggota legislatif.
3. Menghapus ketentuan kewajiban perihal Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK)
KPU berencana untuk menghapus laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK), hal ini disebutkan melalui pernyataan anggota KPU yang mengumumkan secara resmi akan menghapus ketentuan kewajiban LPSDK. Alasan penghapusan diantaranya; KPU menganggap karena tidak diatur dalam Undang-Undang Pemilu, masa waktu kampanye terlalu pendek, dan secara substansi telah tertuang di dalam Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).
Alasan-alasan tersebut terkesan tidak logis dan mengada-ngada, padahal LPSDK bagian dari menciptakan pemilu yang transparan untuk penggunaan dana kampanye, Adapun LPSDK sudah diterapkan sejak Pemilu 2014 dan 2019, begitu pun untuk Pilkada, ketentuan tersebut diwajibkan mulai dari Pilkada 2015, 2017, 2018 dan 2020
4. Penghapusan kewajiban Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) bagi calon terpilih
KPU melalui peraturan terbarunya menghapus kewajiban pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) setelah ditetapkan sebagai calon terpilih. Ketentuan ini sangat janggal dan merupakan hal yang baru jika dibandingkan dengan pemilu 2019 lalu. Dalam ketentuan yang digunakan pada Pemilu 2019 (PKPU 20/2018 dan PKPU 21/2018) disebutkan calon terpilih harus menyampaikan ke KPU paling lambat tujuh hari setelah diterbitkannya surat keputusan KPU terkait penetapan calon terpilih.
Namun untuk Pemilu 2024 KPU menghapus melalui PKPU 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD dan PKPU 11/2023 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD, melalui peraturan tersebut kewajiban pelaporan LHKPN sudah tidak lagi dicantumkan.
5. Mengancam pemenuhan kouta keterwakilan perempuan
Ketentuan Pasal 8 ayat (2) PKPU No 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD memuat ketentuan yang dianggap mengancam keterwakilan perempuan. Aturan ini membuat keterwakilan perempuan sebagai calon anggota legislatif menjadi dibawah 30 persen. Hal itu terjadi karena pasal tersebut mengatur soal pembulatan desimal ke bawah dalam teknis penghitungan proporsi jumlah perempuan di satu daerah pemilihan. Jika penghitungan tersebut menghasilkan angka pecahan di atas 50, maka pembulatan dilakukan ke atas, sementara bila penghitungannya menghasilkan angka di bawah 50, maka pembulatan dilakukan ke bawah.
Permasalahan dari ketentuan ini adalah bahwa mekanisme ini akan menurunkan kuota 30 persen perempuan dalam satu dapil dan hal ini berdampak pada menurunnya kader perempuan yang lolos menjadi anggota legislatif. Dengan pengaturan ini, maka KPU kembali tidak memperhatikan perempuan sebagai subjek politik dan agenda politik di legislatif akan didominasi oleh laki-laki, yang mana hal ini membuat perempuan tidak mampu berdaulat untuk memperjuangkan kehidupannya melalui parlemen.
Penutup
Itulah beberapa kontroversi menuju Pemilu 2024 yang ironisnya dilakukan oleh penyelenggara atau “wasit” dari permainan itu sendiri. Bila Pemilu 2019 masyarakat dihadapkan pada polarisasi sosial-politik yang direkayasa oleh oligarki, maka Pemilu 2024 sekarang dihadapkan pada kecurangan sistemik yang dilakukan KPU untuk menjadikan pemilu sebagai kompetisi yang sedemikian berpihak pada kelompok tertentu. Dari kondisi yang penuh dengan kebijakan miring tersebut, menjadi niscaya apabila publik meragukan hasil dari pertandingan akhir dari sebuah permainan ini.
Oleh karenanya, kita sebagai “penonton” juga mempunyai hak untuk terlibat secara langsung untuk mengawasi jalannya permainan ini, disinilah posisi penting kita, mengawasi dan menjaga supaya arena dan sebuah permainan tetap jujur dan adil. Konsolidasi masyarakat juga diperlukan untuk mendesak KPU sebagai penyelenggara pemilu kembali menjalankan kewajibannya secara konsekuen tanpa melakukan kecurangan di dalamnya.
Narahubung: 085920556663 (Dhani)