MCW dan Gerakan Sosial Anti Korupsi

BERBAGI

Buku Ilusi Demokrasi Lokal: Refleksi Gerakan Anti Korupsi Organisasi Masyarakat Sipil, membahas terkait bagaimana perkembangan LSM (Lembaga Swadya Masyarakat) yang fokus pada gerakan anti korupsi. Pasca pergolakan dimakzulkannya presiden Soeharto, banyak perbincangan membahas terkait kenegaraan, namun tidak ada yang pernah membahas terkait kecemasan yang terjadi pasca pemakzulan. Akan tetapi, perbincangan lebih banyak hanya sekadar mencaci  kebijakan pemerintah dan tindak tanduknya dalam mengambil sebuah kebijakan. Tidak ada yang mencemaskan terkait apa yang akan terjadi pasca ambruknya rezim Soeharto serta bagaimana effect yang ditimbulkan dan diwariskan dari praktik-praktik otoritarian yang pernah di terapkan.

            Selain itu, sejak tumbangnya rezim Soeharto, Indonesia memasuki fase baru dalam sistem politik dan pemerintah, yakni terjadi pergeseran pradigma dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Lahirlah sebuah konsep pemerintahan tiap daerah, salah satunya dengan adanya Kabupaten Malang.

Namun, terjadi kecurigaan yang tak bertuah walaupun kekuasaan telah diberikan kepada setiap daerah. Kabupaten Malang pada saat itu, seiring berjalannya waktu pada tahun 1999, masyarakat mulai membahas bagaimana pemilihan kepala daerah di Malang. Dari dialetika yang dibangun oleh masyarakat Malang, timbulah sebuah gagasan, mereka berfikir bahwa perlu adanya pembentukan suatu badan pengawas untuk mengawasi pemilihan Bupati Malang. Bukan tanpa sebab, gagasan tersebut muncul karena adanya keresahan dari masyarakat terkait permainan uang perihal pelaksanaan pemilu yang akan dilakukan oleh para elit yang ada di dalam tataran birokrasi. Pada akhirnya, tuntutan yang disuarakan rakyat adalah bagaimana tetap mempertahankan cita-cita reformasi dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur melalui keterlibatan masyarakat untuk melakukan pengawasan.

            Sejak saat dinyatakannya reformasi, masyarakat sudah tidak lagi terbelenggu dengan pembatasan hak bicara yang diterapkan pada masa rezim Soeharto. Kini masyarakat lebih leluasa dalam melaksanakan diskusi. Tidak ada lagi pertemuan-pertemuan terselubung yang dilakukan oleh beberapa kelompok seperti para aktivis kampus, organisasi kemasyarakatan, serta partai politik. Diskusi yang diselenggarakan, tidak memerlukan lagi izin dari pihak kepolisian maupun TNI. Pada akhirnya, setelah 30 tahun lamanya terbelenggu dalam aturan yang membatasi hak kebebasan berpendapat, reformasi hadir sebagai kunci dari belenggu atas kebijakan rezim Soeharto.

            Terbebasnya masyarakat dari belenggu orde baru, membuat masyarakat lebih giat untuk melakukan diskusi-diskusi sederhana. Warung kopi adalah salah satu peradaban masyarakat atau aktivis dalam menuangkan gagasan-gagasan mereka. Tidak dapat dipungkiri, bahwasannya warung kopi merupakan salah satu tempat lahirnya gagasan-gagasan baru, melalui dialektika antar para pemikir.

MCW dan Gerakannya

            Sama halnya dengan MCW yang selalu menciptakan ruang-ruang dalam berdialetika. Membahas terkait politik hulu ke hilir hingga membahas terkait korupsi yang terus terjadi di daerah Malang Raya. Diskusi yang dilakukan tidak hanya melibatkan pegiat dari MCW, melainkan juga melibatkan warga untuk memperkaya prespektif yang ada. Bukan  hanya permasalahan korupsi saja, namun juga hal-hal lain yang menyangkut terkait permasalahan sosial diluar fungsi dari MCW itu sendiri. Meskipun demikian, MCW tetap berusaha memberikan respon yang baik untuk menanggapi permasalahan-permasalahan yang terjadi ditengah masyarakat.

            Sebab, MCW telah memiliki suatu nilai dasar bahwasannya ; segala kegiatan yang dilaksanakan oleh MCW harus berbasis  dengan pendidikan. Para pegiat MCW percaya bahwasannya dari pendidikan merupakan sebuah proses politik dalam menyampaikan atau menyebarkan pesan yang dimana sebuah kekuaasaan memiliki sebuah fungsi dalam mewujudkan sebuah kesejahteraan. Pada dasarnya, MCW bergerak memberikan pendidikan publik untuk mewujudkan masyarakat yang memiliki daya untuk memperjuangkan hak-haknya secara mandiri.

            Pola gerakan dan relasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang pertama adalah pola konfrontatif frontliner, yang di mana pada gerakan ini berbentuk oposisi yang memiliki standing dan batasan-batasan yang jelas. Jarak yang diberikan ini memiliki batasan yang tegas, agar tidak terpengaruh terhadap hal-hal yang dapat mencederai nilai-nilai perjuangan dasar yang telah dirumuskan oleh MCW. Yang kedua juga berupa konfrontatif, namun dengan pendekatan kombinasi dialog, yang dimana adanya upaya dalam melakukan negosiasi terhadap pihak-pihak terkait, namun dalam pola gerakan ini memiliki kelemahan karena seseorang dapat terpengaruh oleh pihak yang berkaitan.

            Adapun pola hubungan yang dibangun oleh MCW dengan jaringan kelompok warga dari tahun ketahun. Pada periode 2000 hingga 2002, MCW menggunakan metode pola hubungan relasi formal. Maksud dari pola hubungan relasi formal ini adalah dilakukannya pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh MCW melalui pertemuan formal. Pada periode 2003-2006, MCW melakukan sebuah pemetakaan potensi sekutu. Pemetaan yang dilakukan ini membuat MCW mulai dekat dengan masyarakat, karena sudah mulai dilakukannya pendampingan kasus. Pada tahun 2006-2014, MCW mulai melakukan perluasan ruang publik, yang dimana memperkuat posisi rakyat untuk terlibat dalam setiap ruang-ruang publik.

            MCW juga memiliki cita-cita sosial untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadaban, memiliki keberanian, serta memiliki pengetahuan dalam memahami hak-hak dasarnya sebagai warga negara Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya dan menyampaikan kepentingan politiknya.  MCW selalu mengajarkan tentang bagaimana memperjuangkan hak asasi manusia mereka sebagai masyarakat Indonesia tanpa diselimuti perasaan takut.

            Apa yang menjadi cita-cita MCW, tidak dapat diwujudkan dengan mudah, hal ini dikarenakan banyaknya faktor yang dapat terjadi di masyarakat serta memiliki pola yang berbeda-beda. Pengelolaan kelembaagaan yang dilakukan oleh MCW pun mengalami kesulitan pada periode awal. Regenerasi yang ada pada kelembagaan MCW yang meliputi relawan memiliki kesan tidak memiliki tata kelola yang jelas, hal ini dikarenakan proses dalam menarik SDM untuk melanjutkan MCW bukanlah perkara yang mudah. Selain itu, donor dana yang didapatkan oleh MCW juga tidak mendapatkan sokongan dari pihak manapun, untuk pendanaan dibiayai oleh masing-masing anggota MCW itu sendiri.

            Dari beberapa permasalahan yang dihadapi oleh MCW pada akhirnya mengharuskan  untuk memberikan gagasan yang dapat memberikan nilai jual terhadap para calon relawan yang akan menjadi regenerasi dari pegiat. Nilai yang ditawarkan adalah gerakan-gerakan yang dibangun berbasis dengan kepentingan masyarakat dan melakukan gotong royong dalam membela hak-hak masyarakat, khususnya pada Kota Malang.

            Pola hubungan yang dibangun oleh MCW dan masyarakat adalah dengan selalu melibatkan masyarakat dalam setiap keputusan yang meliputi kebutuhan dari masyarakat itu sendiri. Dalam melakukan advokasi yang melibatkan masyarakat, MCW menggunakan metode “diaspora” atau pembelahan sel amoeba. Bukan tanpa arti, metode tersebut nantinya diharapkan dapat mendorong masyarakat dalam mendapatkan pendidikan yang juga difasilitasi oleh MCW, yang nantinya memiliki pengaruh terhadap pembentukan-pembentukan aktor baru yang ada di tengah masyarakat dalam melakukan hegemoni terhadap circle lingkungannya, seperti keluarga, teman, dll. Hal ini untuk membuat mereka sadar dalam melakukan sebuah perlawanan untuk memperjuangkan hak asasinya sebagai seorang warga negara Indonesia.

            MCW menginginkan masyarakat terlibat dalam perumusan kebijakan yang disusun oleh pemerintahan kota Malang. Oleh karena itu MCW menyebut masyarakat sebagai mitra, atau sebagai kawan seperjuangan dalam menyuarakan kepentingan politik masyarakat serta memperjuangkan hak-hak sebagai warga negara Indonesia. Dengan adanya narasi bahwasannya MCW dan masyarakat memiliki relasi kerja sebagai mitra, perlu dilakukan analisis terkait hubungan kerja yang dibangun MCW dalam melakukan advokasi sosial terhadap masyarakat. Jika ditelaah, MCW memposisikan diri sebagai organ yang berada ditengah-tengah sebagai aktor atau pos pengaduan. MCW terhadap masyarakat memiliki tugas untuk melakukan pendidikan publik terhadap masyarakat, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan sebuah kesadaran kolektif terhadap sebuah permasalahan yang ada. Sedangkan MCW terhadap pemerintah memiliki kewajiban sebagai kelompok penekan untuk mencegah terjadinya tindakan sewenang-wenang.

Dela Hanin, Relawan Magang Malang Corruption Watch


Buku Ilusi Demokrasi Lokal – Tim, original segel, 978-602-19895-2-4 tahun 2014, 138 halaman

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.