Mempertanyakan Kapasitas Daerah dalam Pengelolaan PPDB

BERBAGI

Momen Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) merupakan momen tahunan yang ditunggu-tunggu oleh para calon siswa baru di semua jenjang, baik pendidikan dasar dan menengah. Ibarat sebuah pemerintahan dalam suatu negara yang memerlukan sirkulasi elit di momen pemilu, PPDB menjadi momok yang cukup menegangkan karena tidak sedikit calon siswa yang gagal melanjutkan ke jenjang sekolah negeri yang diminati. Disaat yang bersamaan, PPDB merupakan titik awal bagi pemerintah dalam menjalankan kewajibannya, yakni menjamin hak akses pendidikan oleh masyarakat, “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”(Pasal 31 ayat 1 UUD NRI 1945).

Sengkarut PPDB

Dalam riset Malang Corruption Watch yang dilakukan di Kota Malang, permasalahan seputar PPDB secara konsisten muncul bahkan sejak berlaku secara efektif pada 2017. Permasalahan tersebut diantaranya kurangnya sosialisasi PPDB, ketersediaan sekolah negeri yang tidak merata, dikotomi sekolah unggulan, web site mengalami kendala, data koordinat tidak akurat, dan pencatatan  kependudukan yang bermasalah. Berbagai masalah ini seringkali membuat proses pendaftaran PPDB selalu saja berpolemik setiap tahun. Njlimet dan ruwet-nya pendaftaran seringkali tidak hanya merugikan calon peserta didik, namun juga wali murid yang kerap kali juga resah melihat ketidakjelasan nasib anak-anaknya.

Pelaksanaan PPDB juga menghadapi tantangan yang sangat beragam sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing. Di daerah dengan karakter wilayah dan demografi yang padat, pelaksanaan PPDB semakin rentan berpolemik. Daya tampung sekolah negeri yang terbatas mengharuskan siswa yang tidak lolos PPDB terpaksa terlempar ke sekolah lain, biasanya pemerintah setempat merekomendasikan ke sekolah-sekolah swasta terdekat. Masalah seputar PPDB tidak hanya muncul baru-baru ini, ditengah tensi politik yang memanas menjelang pemilu 2024, tetapi sejak sistem zonasi PPDB dicanangkan sejak awal.

Kapasitas Daerah

Permendikbud No. 1 Tahun 2021 Tentang PPDB memberikan fleksibilitas daerah dalam menentukan alokasi untuk siswa masuk ke sekolah melalui jalur zonasi, afirmasi, dan perpindahan orang tua/wali. Posisi pemerintah pusat dalam hal ini sebagai fasilitator, bukan sebagai regulator, sehingga keputusan akhir berada pada pemerintah daerah. Kebijakan ini mengharuskan adanya kapasitas daerah dalam memetakan karakteristik dan kebutuhannya. Sehingga jalur zonasi (minimal 50%) dan afirmasi (minimal 15 %) secara eksplisit disebutkan proporsi minimal agar memudahkan daerah dengan tetap dan atau menambah presentase jika dibutuhkan.

Sengkarut PPDB sebagaimana yang disebutkan diatas lebih banyak diakibatkan oleh kurangnya kapasitas daerah dalam menetapkan produk kebijakan yang adil. Bicara PPDB di daerah juga tidak hanya terbatas pada kewenangan Dinas Pendidikan. Misalnya, dalam memverifikasi domisili dan usia siswa, tentu Dinas Kependudukan / Pencatatan Sipil perlu turut terlibat. Dalam pendaftaran jalur afirmasi, bukti keikutsertaan peserta didik dalam program penanganan keluarga tidak mampu juga membutuhkan peran Dinas Sosial. Praktik manipulasi sejumlah persyaratan jalur masuk PPDB ini (misalnya kartu keluarga) menandakan minimnya kapasitas daerah dalam melakukan pendataan terhadap kondisi masyarakat.

Sedangkan pada jalur kepindahan tugas, seringkali penyelenggara PPDB mempertanyakan validitas tempat kerja orang tua. Oleh karenanya, verifikasi administrasi dan pembuktian tempat kerja seharusnya dapat dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan organisasi peragkat daerah yang membidangi, seperti dinas perindustrian/ perdagangan dan pekerjaan umum, yang harusnya memiliki data perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam satu daerah. Setiap pemerintah daerah saat ini pasti memiliki pejabat khusus yang berwenang mengelola informasi, PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) sesuai amanat UU No 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Entitas PPID ini hendaknya bisa dimaksimalkan dalam mempersiapkan segala bentuk kemungkinan yang akan dihadapi saat proses PPDB dilakukan.

Pemahaman terhadap wewenang daerah ini tidak hanya tertuju pada satu pemerintah daerah saja, misalnya  Pemkot A atau Pemkab B. Wilayah zonasi dalam pemahaman pelaksanaan PPDB ditetapkan dengan prinsip mendekatkan domisili peserta didik dengan sekolah (Pasal 20 Permendikbud PPDB). Lebih lanjut, penetapan wilayah zonasi harus memperhatikan: sebaran sekolah; data sebaran domisili calon peserta didik; dan kapasitas daya tampung sekolah yang disesuaikan dengan ketersediaan jumlah anak usia sekolah pada setiap jenjang di daerah tersebut. Sehingga penetapannya tidak terbatas pada satu pemerintah daerah saja. Penetapan wilayah zonasi perlu melibatkan kerjasama antar pemerintah daerah untuk menjamin hak peserta didik yang berada di wilayah perbatasan (Pasal 20 Permendikbud PPDB). Fungsi Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) sebagai fasilitator kebijakan antar daerah wajib dimaksimalkan.

Memperkuat Koordinasi Multi Sektoral

Memahami pentingnya PPDB menghendaki adanya peningkatan kapasitas daerah dalam memperkuat koordinasi multi sektoral, dan menghilangkan ego sektoral. Adanya ego sektoral dan koordinasi yang minim justru akan menimbulkan korban-korban baru, yakni masyarakat sebagai pihak yang paling dirugikan. Dibutuhkan kesadaran bersama bahwa momen PPDB adalah  momen penting karena menjadi bentuk keterlibatan langsung masyarakat terhadap kondisi layanan publik. Jika dalam satu daerah saja ada 10 ribu lulusan peserta didik, maka kurang lebih ada warga negara dengan jumlah tersebut ditambah orang tua/ walinya akan berhadapan dengan kondisi layanan. Cara termudah untuk memahami sejauh mana keberpihakan pemerintah kepada masyarakat adalah melihat wajah dan kondisi pelayanan publik itu sendiri. Kebijakan yang gagal melayani publik akan menimbulkan diskriminasi, kemarahan, kekecewaan, hingga hilangnya kepercayaan.

Koordinasi multi sektoral menjadi penting untuk dijalankan untuk mengakomodasi kebutuhan layanan dimana pelaksanaanya tidak dapat ditempuh oleh satu instansi atau lembaga tertentu saja. Koordinasi multi sektoral juga membutuhkan adanya kepemimpinan daerah yang mumpuni. Pemimpin yang mempunyai visi, argumentasi, karya, dan dapat meyakinkan semua jajaran pemerintah lainnya agar memiliki visi bersama. Layanan PPDB yang seringkali berpolemik menandakan kurangnya imajinasi kepemimpinan di daerah untuk memberikan pelayanan yang sepenuhnya memihak kepada kepentingan publik.

Ahmad Adi Susilo (Koordinator Malang Corruption Watch)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.