
Wali Kota Malang, Sutiaji, menyebut pada tahun 2022 area Permukiman Kumuh di Kota Malang tersisa 73 Ha yang terbagi dalam 10 Kelurahan[1]. Luasan tersebut mengalami pengurangan, pada 2019 lalu, area permukiman kumuh Kota Malang mencapai 608 Ha yang terbagi dalam 29 kelurahan. Penurunan yang drastis terhadap area pemukiman kumuh ini sepintas terasa mengejutkan.
Padahal, program peningkatan kualitas terhadap perumahan dan permukiman kumuh dibuat bukan hanya untuk pengurangan area kumuh secara kuantitas, namun juga menyasar peningkatan mutu kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni perumahan kumuh dan permukiman kumuh.[2] Artinya, peningkatan mutu kehidupan masyarakat ini juga menyangkut aspek ekonomi, sosial, budaya, dan aspek lain yang berhubungan dengan kebutuhan dasar masyarakat.
Sebelumnya, beberapa pihak juga menganggap sebuah keberhasilan Pemerintah Kota Malang dalam pengentasan kawasan kumuh[3]. Namun justru yang dianggap sebagai “keberhasilan” ini menyembunyikan kontradiksi. Dilain sisi, kita patut mempertanyakan validitas data penurunan yang drastis tersebut. Tulisan ini mencoba mengurai sejauh mana efektifitas pengurangan area kumuh menampilkan problem mendasar (yang justru mengabaikan banyak aspek), sehingga patut untuk mempertanyakan kembali klaim “keberhasilan” tersebut.
Legacy yang buruk
Yang paling sering dijadikan rule model penanganan area kumuh oleh Pemkot Malang adalah pembangunan Kayutangan Heritage, seolah-olah Kayutangan menjadi ikon baru Kota Malang, program ini dilakukan sebagai pelakasanaan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU). KOTAKU adalah program pusat, dengan maksud untuk membangun sistem yang terpadu dalam penanganan permukiman kumuh, artinya pemerintah daerah memiliki kewenangan yang diberikan oleh pusat.
Pengertian dan indikator pemukiman kumuh pun begitu, bahwa ukuran apa yang dianggapnya kumuh seharusnya sudah tersusun sedari awal. Aturan tentang pemukiman kumuh menjelaskan bahwa pemukiman kumuh adalah pemukiman yang tidak layak huni karena ketidak teraturan bangunan, padatnya bangunan, serta kualitas lingkunga sarana dan prasarana yang buruk[4]. Disinilah letak masalahnya, secara rigid padahal dalam Keputusan Menteri PUPR No.177/KPTS/M/2021 Tentang Penepatan Lokasi program KOTAKU tidak ada menyebutkan nama Jl. Basuki Rahmat Kelurahan Kiduldalem (lokasi pembagunan Kayutangan Heritage) sebagai target program KOTAKU.
Artinya, Pemkot Malang telah menyalahi prinsip indikator tingkat kekumuhan yang sudah terukur sedari awal melalui lokasi yang sudah ditetapkan. Dengan demikian, sumbangan pengurangan area kumuh melalui pembangunan kayutangan Heritage patut diragukan. Tak berlebihan kiranya jika kita mengeklaim pembagunan Kayutangan adalah ambisi Wali Kota untuk meninggalkan legacy semata, yang padahal cacat secara prinsipil.
Tak Mengurangi Bencana
Salah satu proyek yang dilakukan Pemkot Malang untuk Kawasan kumuh adalah kualitas kontruksi pembangunan drainase. Proyek yang dilakukan untuk mengalirkan limpasan air hujan pada lingkungan permukiman menuju saluran utama agar tidak terjadi genangan maupun banjir yang berlebihan. Dari tahun ke tahun Pemkot Malang menganggarkan proyek untuk drainase, mulai dari pembangunan drainase baru maupun memperbaiki drainase yang sudah ada.
Di tahun ini (2022), Pemkot Malang menyiapkan 46,8 Miliar untuk proyek drainase, sebagai upaya lanjut untuk tahun-tahun sebelumnya, baik pembangunan dengan lokasi baru maupun renovasi yang sudah ada sebelumnya. Dengan meningkatnya proyek drainase ini, justru tidak kompatibel dengan pengurangan bencana seperti banjir. Semisal, data BPS menunjukkan, terjadinya kecenderungan peningkatan intensitas banjir dalam kurun waktu 2016-2020[5], peningkatannya menjadi bertambah ketika digabungkan dengan yang terjadi pada tahun 2021-2022. Setidaknya ada 18 titik yang menjadi langganan banjir di Kota Malang secara merata (Jl Gajayana, Jl Soekarno-Hatta, Jl Letjen Sutoyo hingga Kawasan Kelurahan Sawojajar)[6].
Belum lagi pembagunan fisik seperti drainase ini, sangat rentan disalahgunakan yang berujung pada indikasi korupsi. Semisal pada tahun 2020, MCW menemukan fakta bahwa pengadaan kontruksi Kota Malang dalam penanganan bencana banjir, terdapat 14 paket pekerjaan yang mengalami kekurangan volume dengan nominal potensi kerugian kurang lebih 5 Miliar. Tidak heran jika pembangunan seperti drainase menjadi tidak mempunyai dampak yang signifikan.
Upaya “Cuci Tangan”
Dalam berita yang sama[7], Pemkot Malang menyatakan sangat menyayangkan ketika upaya “keberhasilannya” dalam mengurangi kawasan kumuh justru dikotori perumahan dan bangunan yang berada di sempadan sungai dan saluran drainase. Ia menganggap ketidakteraturan tersebut disebabkan oleh warga yang tidak bertanggung jawab atas perbuatannya padahal secara tegas dilarang oleh aturan yang berlaku.
Sadar atau tidak, ia justru jatuh pada lubang yang digali sendiri, seolah-olah ketidakteraturan tersebut selalu disebabkan oleh warga yang tak taat aturan. Dalam hal ini, ia mengaburkan peran pemerintah sendiri dalam proses pembangunan. Sebagai contoh, izin yang diberikan kepada salah satu bangunan apartemen di Tlogomas, secara nyata berjarak tidak lebih dari 5 meter dengan sempadan sungai. Hal ini tentu melanggar aturan yang dibuatnya sendiri (Pasal 17 ayat (2) Perda No.5/2015 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Wilayah Perkotaan Malang Utara), yang mengatur lebar sempadan sungai yaitu 15 meter.
Selain itu, padahal ketidakteraturan dan terjadinya potensi bencana justru seringkali diberikan legitimasi oleh Pemerintah Kota itu sendiri, semisal Ruang Terbuka Hijau yang tak kunjung mumpuni, alih fungsi lahan, ruang hijau yang menjadi pusat pembelanjaan dan pembagunan yang tidak mempertimbangkan fungsi ekologis. Singkatnya, hasrat memperlebar ruang ekonomi justru mengorbankan fungsi ekologis sosial yang ujung-ujungnya mengundang bencana[8].
Sebagai penutup, demikian secara utuh bagaimana klaim “keberhasilan” Pemkot Malang justru mengaburkan banyak persoalan. Memang tidak mengejutkan, pola ini lumrah terjadi dalam praktek kekuasaan dengan seolah-olah memberikan “hadiah” untuk menghilangkan dosanya sendiri yang jauh lebih besar.
Penulis : A.F Hamdani (085920556663)
[1] Radarmalang.jawapos.com, Tersisa 73 Ha pemukiman kumuh di Kota Malang, (Publikasi 24/10/2022. Akses 25/10/2022) https://radarmalang.jawapos.com/malang-raya/kota-malang/24/10/2022/tersisa-73-ha-permukiman-kumuh-di-kota-malang/
[2] Maksud, Tujuan, dan Lingkup Pasal 2 bahwa Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Prumahan Rakyat No. 02/PRT/MM/2016 Tentanng Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan dan Permukiman Kumuh
[3] Malangkota.go.id, Bank dunia puji penanganan Kawasan kumuh Kota Malang (Publikasi 17/6/2022. Akses 25/10/2022) https://malangkota.go.id/2022/06/17/bank-dunia-puji-penanganan-kawasan-kumuh-kota-malang/
[4] UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
[5] Dikutip dari Terakota.id, Catatan kritis aliansi Malang Raya, Ruang, Iklim dan Bencana Kota Malang, (Publikasi 31/03/2022. Akses 31/10/2022) https://www.terakota.id/ruang-iklim-dan-bencana-di-kota-malang-bagian-1/
[6] Kompas.com, ada 18 titik langganan banjir di Kota Malang (Publikasi 15/03/2022. Akses 25/10/2022)
[7] Radarmalang.Jawapos.com Op.cit,..
[8] Secara detail ditulis dalam. Eko Widianto, Malang Kota Genangan, sorot.terakota.id https://sorot.terakota.id/malang-kota-genangan