
Ningsih (54) menyeka keringatnya. Siang yang terik pada Jumat (17/6) mempercepat munculnya keringat di wajahnya. Ruang tunggu Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Malang yang memiliki 6 pendingin ruangan tidak dapat mengurangi rasa gerah itu karena hanya dua yang menyala. “Tahun sebelumnya, Kakaknya mendaftar lewat jalur zonasi dan diterima di SMP yang sama. Kok sekarang malah tidak diterima?” ucap Ningsih yang membuka obrolan dengan sesama pengadu Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2022. Ningsih menemani menantunya, Yanti (32) yang sedang memperjuangkan nasib putri keduanya yang pada pengumuman PPDB dinyatakan tidak lolos. “Kakaknya ketika pendaftaran di situs PPDB tahun 2021 tercantum jarak 700 meter. Sekarang, masih di rumah yang sama, adiknya ini malah tertulis jarak 1,1 kilometer,” ungkap Yanti.
Tepat di meja seberang Yanti dan Ningsih, Devan (24) menemani kekasihnya, Tata (23) yang sedang memperjuangkan nasib sang adik. Perpindahan lokasi rumah dari Kelurahan Mergosono ke Kelurahan Kebonsari yang hanya berjarak sekitar 4 km seolah menghambat impian sang adik untuk bersekolah di SMP yang ia dambakan. Alasan yang dikemukakan oleh pihak Disdikbud, kepindahan Kartu Keluarga (KK) nya baru terhitung 11 bulan 21 hari. Petunjuk Teknis (juknis) PPDB Mensyaratkan kepindahan KK minimal 12 bulan.
Ketidakjelasan Titik Koordinat
Ayu (37) tak menyangka prosedur PPDB untuk putrinya akan sangat rumit. “Saya sejak awal sudah yakin putri saya lolos. Jarak dari rumah ke sekolah sasaran hanya 800 m. Tahun-tahun sebelumnya, banyak tetangga yang jaraknya lebih jauh tetapi bisa diterima,” terang ibu dua anak itu. Hingga pengumuman penerimaan, putrinya tidak masuk ke dalam daftar siswa yang diterima di SMP yang paling dekat dengan rumahnya. Ayu merasa ada yang janggal dengan hasil PPDB tersebut. Tetangga yang berjarak lebih jauh dari rumah ke sekolah berdasarkan Google Maps sebagian besar diterima di sekolah yang sama.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 1 tahun 2021 tentang PPDB pada Pasal 17 Ayat 2 menerangkan, “PPDB melalui jalur zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a diperuntukkan bagi calon peserta didik baru yang berdomisili di dalam wilayah zonasi yang ditetapkan Pemerintah Daerah.” Pasal 20 Ayat 1 dan 2 menjelaskan, “Penetapan wilayah zonasi dilakukan pada setiap jenjang oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, dengan prinsip mendekatkan domisili peserta didik dengan sekolah. Penetapan wilayah zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan: sebaran sekolah; data sebaran domisili calon peserta didik; dan kapasitas daya tampung sekolah yang disesuaikan dengan ketersediaan jumlah anak usia sekolah pada setiap jenjang di daerah tersebut.”
Mengacu pada peraturan di atas, masalah muncul ketika Disdikbud Kota Malang tidak memberikan dasar penentuan jarak bagi sekolah yang melaksanakan PPDB. Juknis yang tertera hanya mencantumkan “diurutkan dari jarak terdekat ke yang paling jauh.” secara penggunaan, Global Positioning System (GPS) dibedakan menjadi 4 jenis. Secara komersial, terdapat banyak perbedaan antara dua aplikasi GPS dengan jumlah pengguna terbesar. Rychlicki, dkk (2020) menjelaskan, ada 9 alat penerima sinyal GPS yang jamak digunakan di masyarakat.
Data-data di atas menunjukkan adanya ketidakjelasan penentuan titik koordinat dalam juknis PPDB Kota Malang. Berkaca pada PPDB tahun sebelumnya, PPDB jalur zonasi ditentukan berdasarkan koordinat yang ada pada GPS yang digunakan oleh Disdikbud Kota Malang. Namun, PPDB tahun 2022 mengalami kesimpangsiuran dasar penentuan jarak. Tragedi yang dialami oleh Yanti dan Ayu mengindikasikan adanya penentuan lokasi calon siswa berdasarkan jarak yang bisa ditempuh oleh kendaraan bermotor.
Rencana Kerja, Sekolah Swasta dan Antrian Panjang Keadilan
Meninjau kembali data yang ada dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Malang 2022, capaian kinerja di bidang pendidikan mengalami penurunan pada Angka Partisipasi Sekolah (APS). Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan APS sebagai “Proporsi dari penduduk kelompok usia sekolah tertentu yang sedang bersekolah (tanpa memandang jenjang pendidikan yang ditempuh) terhadap penduduk kelompok usia sekolah yang bersesuaian. Sejak tahun 2007, Pendidikan Non Formal (Paket A, Paket B, dan Paket C) turut diperhitungkan.” Tahun 2019, angka APS nya mencapai 115,94%. Namun, pada tahun 2020, persentase tersebut menurun ke angka 95,19%. Penurunan lebih dari 20% itu merupakan salah satu indikasi dari buruknya sistem PPDB Kota Malang. Jika pada tahun 2019 SMP di Kota Malang dapat menampung warga dari luar Kota Malang, pada tahun 2020 hampir 5% dari warga Kota Malang di usia SMP yang tidak bisa bersekolah.
Jadhim (47) masih merasa kesal atas ucapan salah satu pimpinan Disdikbud yang ditemuinya. “Solusi terbaik jika tidak diterima PPDB ya, ke sekolah swasta saja,” ujar pejabat publik tersebut. Memang, SMP swasta bisa menjadi opsi jika seorang calon peserta didik tidak diterima di SMP negeri. Namun, tak jarang ada sekolah yang mematok biaya terlalu tinggi. Tidak hanya uang gedung atau biaya “pembangunan pendidikan” yang menguras isi dompet. Beberapa sekolah juga memasang nominal yang terlampau mahal untuk SPP. Kondisi tersebut masuk dalam diskriminasi dalam pendidikan. Pembiaran dari pemerintah terhadap sekolah swasta yang mematok biaya yang terlalu tinggi adalah bentuk nyata dari diskriminasi dalam pendidikan (Elford, 2018).Kenyataan pahit yang dialami oleh Devan, Tata, Ningsih, Yanti dan Jadhim sudah sepatutnya menjadi bahan evaluasi bagi seluruh pembuat kebijakan di Kota Malang. Terwujudnya perubahan kebijakan pendidikan demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia wajib diimplementasikan sesegera mungkin. Mengutip ungkapan pakar pendidikan Leo Buscaglia, change is the end result of all true learning.
Penulis: Coqi Basil, Pemerhati Pendidikan Kota Malang