Selisik Kerugian Sosial Imbas Korupsi

BERBAGI

Faktanya, negara kita, Indonesia, mengalami paceklik keadilan. Ungkapan “hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas” seakan sudah menjadi suatu yang lumrah. Para pemilik kuasa dengan sumber daya kapital kebal hukum bahkan “mempermainkan” hukum, sementara rakyat biasa yang tak empunya akses kekuasaan dan sumber daya kapital dikuliti hukum, lebih-lebih “dipermainkan” dengan dalih hukum. Tak pelak membuat akses terhadap sumber daya hanya dikuasai segelintir elite –kekinian disebut oligark pembajak demokrasi. 

Fenomena pembajakan demokrasi itu bisa dilihat dari fakta ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia. Tim Nasional Penanggulangan Kemiskinan (TNPK) merilis “satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional, dan jika dinaikkan angkanya jadi 10 persen orang terkaya maka penguasaannya jadi 70 persen. Artinya sisanya hanya 30 persen aset nasional yang diperebutkan 90 persen masyarakat Indonesia.” Bisa dibayangkan betapa timpangnya kondisi sosial-ekonomi di Tanah Air (Ul Haq, 2019). 

Katanya, Indonesia adalah negara demokrasi. Indonesia juga merupakan negara yang menjunjung kemanusiaan dan keadilan sosial, kabarnya begitu. Memang betul itulah nilai dasar bangsa Indonesia. Cita mulia itu dirumuskan para pendiri Republik yang digali dari nilai luhur bangsa dan melalui proses dialektis yang panjang. Nilai-nilai yang kemudian diberi nama Pancasila; nilai pokok, falsafah bangsa, dasar negara, dan sumber dari segala sumber hukum. Harus diakui, nilai-nilai pokok itu memang baik dan kita perlu menghaturkan apresiasi bagi para perumusnya –pemikir Republik. Namun, persoalannya, bukan tentang seberapa mulia nilai itu, tapi bagaimana praktiknya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itulah yang perlu kita direfleksikan dan kawal bersama.

Pertanyaannya, apa sebab nilai-nilai itu tidak mendarat dalam kehidupan bernegara? Salah satu yang terutama adalah karena korupsi. Korupsi nyata merugikan. Korupsi adalah perbuatan menilap uang rakyat atau secara formal disebut keuangan negara yang dianggarkan untuk pembangunan dan pelayanan publik. Kerugian yang ditimbulkan tidak hanya soal keuangan negara, melainkan juga berimbas pada rusaknya kehidupan sosial masyarakat. Dalam konteks ini kita perlu melihat imbas korupsi tidak hanya soal kerugian keuangan negara dan pengembalian kerugian negara, lalu selesai, Akan tetapi lebih jauh daripada itu dampak sosial yang ditimbulkan korupsi. 

Para pemikir demokrasi bernegara menyebut, pemerintahan yang korup membuahkan ketimpangan sosial-ekonomi masyarakat. Narasi semacam ini acap sepi dari perhatian. Korupsi jamak kita nilai hanya ihwal kerugian keuangan negara. Dengan kata lain pemaknaan korupsi yang berkembang selama ini teramat sempit mengacu pada peraturan normatif hukum, di sisi lain luput dari cara pandang empiris-sosiologis.

Secara baku arti korupsi yang berlaku mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara umum definisi korupsi dijelaskan dalam UU 31 Tahun 1999, yaitu: 

Pasal 2 ayat (1) bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Pasal 3 bahwa “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…”

Definisi korupsi berdasar kedua pasal tersebut memiliki kesamaan maksud, yaitu dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Hal ini menunjukkan bahwa definisi korupsi dalam UU Tipikor saat ini terbatas kerugian material (tangible costs) berupa kerugian keuangan negara saja (biaya eksplisit korupsi). Di sisi lain sesungguhnya kerugian immaterial (intangible costs) imbas korupsi jauh lebih besar dan berbahaya (biaya implisit korupsi). Kerugian immaterial ini sering juga disebut dengan biaya sosial korupsi. Kerugian sosial bertaut dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti memburuknya demokrasi bernegara.

Gambar Imbas Sosial Korupsi Terhadap Berbagai Aspek Bernegara

Dampak Sosial Korupsi

Konsekuensi logis suatu perbuatan korupsi pasti menimbulkan kerugian keuangan negara. Di samping itu, pembangunan dan pelayanan publik pun jadi berjalan ‘pincang’, karena hasil korupsi hanya dinikmati segelintir orang saja (koruptor). Akibat lanjutannya timbul biaya oportunitas, ketimpangan sasaran dan efektivitas alokasi sumber daya, penurunan efek ganda (multiplier effect) ekonomi, bertambahnya kesenjangan pendapatan, dan meningkatnya beban seluruh elemen negara (pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat (Firman dan Pradiptyo, 2020). Bahkan secara menyeluruh korupsi disebut menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara; merusak demokrasi, mempertajam jurang kesenjangan dan pada akhirnya menyebabkan rakyat suatu bangsa menderita.

Luput

Brand and Price merinci tiga elemen biaya sosial korupsi, yaitu biaya antisipasi terhadap korupsi; biaya akibat korupsi; dan biaya reaksi terhadap korupsi. Pertama, biaya antisipasi atau dalam konteks pemberantasan korupsi disebut biaya pencegahan, yaitu besaran anggaran yang dikeluarkan untuk kerja-kerja pencegahan korupsi seperti sosialisasi kepada seluruh stakeholder baik lembaga pemerintah, lembaga swasta, lembaga pendidikan, dan lainnya. Selain itu, anggaran juga terbebani untuk melakukan reformasi birokrasi guna membentuk sistem antikorupsi. Kedua, biaya akibat korupsi adalah nilai uang yang dikorupsi atau kerugian keuangan negara. Ketiga, biaya reaksi atau anggaran penindakan, yaitu seluruh sumber daya yang terpakai untuk memproses suatu perbuatan korupsi. Negara harus membiayai seluruh proses hukum tindak pidana korupsi mulai tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan dan pemasyarakatan (Zulaiha dan Angraeni, 2016). 

Pada dasarnya kerugian material lebih mudah diobservasi dibanding kerugian immaterial. Itu jua yang membuat pemberantasan korupsi seringkali hanya berorientasi pada kerugian keuangan negara yang sifatnya material. Sementara untuk mengestimasi kerugian material dibutuhkan model ekonomika dan variabel proksi (representasi dari konstruk yang dapat dinilai dengan berbagai macam nilai). Namun demikian, demi menerapkan pemberantasan korupsi yang komprehensif dan tuntas wajib kiranya menelisik kerugian sosial sebagai pertimbangan utama penegakan hukum tindak pidana korupsi.

Selama ini, biaya sosial yang ditimbulkan korupsi luput dari pertimbangan penegakan hukum tindak pidana korupsi. Salah satu contohnya bisa dilihat pada Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang hanya menekankan pengembalian kerugian keuangan negara atas temuannya. Meskipun ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan atas temuan tersebut, tapi penting diingat bahwasannya kerugian yang ditimbulkan bukan hanya soal keuangan negara. Jika indikator pemberantasan korupsi hanya soal kerugian keuangan negara yang sifatnya eksplisit (biaya akibat korupsi), maka upaya pemberantasannya akan parsial. Memberi penekanan pada pengembalian kerugian keuangan negara atas temuan pertemuan atau kasus per kasus, sementara aspek lainnya yakni biaya antisipasi korupsi, biaya reaksi korupsi dan terkhusus biaya akibat korupsi yang sifatnya implisit masih luput dari jangkauan penegakan hukum tindak pidana korupsi 

Hasil riset Malang Corruption Watch (MCW) pada tahun 2021 tentang temuan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK menunjukkan, bahwa terdapat kekurangan volume (berulang) atas suatu pengadaan barang dan jasa setiap tahunnya alias temuan berulang. Namun tindak lanjut atas temuan berulang tersebut hanya menekankan pengembalian kerugian keuangan negara, pembinaan pemerintah dan pihak ketiga terkait. Upaya tersebut sedakar melihat potensi kerugian keuangan negara berorientasi biaya eksplisit. Cara pandang itu berdampak pada minim dan lemahnya langkah penegakan hukum atas temuan-temuan tersebut. Biasanya dilakukan upaya pembinaan terhadap pihak yang melakukan penyelewengan dan berakhir pada pengembalian kerugian keuangan negara. Padahal jika ditelaah dari sisi dampak sosialnya, temuan berulang itu pasti berdampak pada ‘macet’nya pembangunan dan tidak optimalnya pelayanan publik karena anggarannya tidak berjalan ideal. 

Misalnya temuan kekurangan volume pembangunan jalan, meski sudah diupayakan pengembalian keuangan negara ke kas negara atas temuan tersebut, tapi imbas sosialnya di tengah masyarakat tetap berlanjut. Suatu pengadaan pembangunan jalan akan mudah rusak karena kekurangan volume, dampak lanjutannya mobilitas masyarakat pengguna jalan akan terhambat, dan lebih-lebih rentan kecelakaan. Tentu dengan solusi pengembalian keuangan negara atas kekurangan volume tidak menjawab masalah sosial adanya jalan berlubang. 

Memang pengembalian kerugian negara itu sesuatu yang perlu dan wajib dilakukan. Akan tetapi, lebih dari itu, penting ditelisik akibat dari perbuatan penyimpangan sesuai temuan BPK itu; apakah mengandung unsur kesengajaan dan perbuatan jahat (mens rea), serta apa saja imbas sosial yang ditimbulkan. Imbas sosial korupsi itulah yang langsung dirasakan masyarakat. Oleh karena itu pemberantasan korupsi harus melihat akibat-akibat sosial itu dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.

Wacana

Seperti diketahui, korupsi berimbas hampir pada seluruh aspek kehidupan bernegara. Dampak korupsi tidak tunggal sebagaimana didefinisikan dalam undang-undang tindak pidana korupsi kita hari ini. Kondisi ini tentu menjadi problem dalam pemberantasan korupsi. Spirit pemberantasan korupsi seakan “kering” dan tak penting jika hanya berorientasi pada kerugian keuangan negara. Tidak lagi menempatkan korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan atau extra ordinary crime. Hal itu tentunya mempengaruhi langkah-langkah pemberantasan korupsi yang “biasa” saja. Karenanya mendesak untuk memperbarui perspektif pemberantasan korupsi.

Terang bahwa pemaknaan korupsi bukan hanya soal kerugian keuangan negara. Definisi korupsi yang sempit ini perlu dikaji ulang dan diperluas pemaknaannya. Agar ikhtiar pemberantasan korupsi menyentuh akar persoalan korupsi itu sendiri. Selain itu, langkah pemulihan akibat korupsi juga dapat dilakukan setuntas-tuntasnya, seadil-adilnya. Seluruh kerugian yang timbul akibat korupsi yakni materil pun immaterial (biaya eksplisit dan eksplisit) sepatutnya dibebankan kepada koruptor, bukan pada negara.

Maka, kiranya ke depan, penting merevisi undang-undang tindak pidana korupsi yang memuat definisi dan perspektif imbas sosial suatu tindak pidana korupsi. Tujuannya untuk memperluas jangkauan pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya. Agar penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak hanya mempertimbangkan kerugian keuangan negara saja, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosialnya. Selisik imbas sosial korupsi sangat esensial dalam pemberantasan korupsi sebagai dampak real korupsi di tengah masyarakat (biaya akibat korupsi). Namun bukan berarti mengesampingkan upaya pengembalian keuangan negara, tetapi dilakukan seiring sejalan. Dengan demikian, pemberantasan korupsi bisa lebih efektif dan komprehensif. 

Mari, bersama rakyat berantas korupsi!

Daftar Pustaka

Cegah Korupsi FEB UGM, Biaya Sosial dan Bahaya Korupsi, https://cegahkorupsi.feb.ugm.ac.id/biaya-sosial-dan-bahaya-korupsi/ diakses 28 September 2022.

Muhammad Fida Ul Haq, DetikNews, Data Kesenjangan Indonesia: 1% Orang Kuasai 50% Aset Nasional, https://news.detik.com/berita/d-4739313/data-kesenjangan-indonesia-1-orang-kuasai-50-aset-nasional diakses 30 September 2022.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Zulaiha, Aida Ratna, dan Anggraini, Sari. Menerapkan Biaya Sosial Korupsi Sebagai Hukuman Finansial dalam Kasus Korupsi Kehutanan. Jurnal Integritas Volume 2 Nomor 1, Agustus 2016.

Penulis: Janwan Tarigan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.