
Publik kembali disajikan berita yang tidak mengenakkan di media massa. Bagaimana tidak? Pada hari Jum’at lalu, tepatnya pada tanggal 23 Juni 2023, Dewan Perwakilan Rakyat resmi menyetujui pembahasan revisi Undang-Undang Desa, di mana revisi ini masih menjadi perbincangan publik beberapa waktu sebelumnya. Kendati demikian, hal yang paling disorot dari kabar tersebut ialah sikap beberapa fraksi DPR yang menyetujui perpanjangan masa jabatan kepala desa, di mana isu mengenai revisi UU Desa ini “sengaja” diarahkan pada topik perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menuju 9 tahun untuk satu periode Terdapat tujuh fraksi yang menyetujui perpanjangan jabatan ini, diantaranya yaitu Golkar, PDIP, PKB, Gerindra, PKS, PAN dan PPP, di mana hadirnya PKS justru menjadi kontradiksi dari posisinya sebagai partai oposisi.
Sementara itu, dua fraksi lainnya di DPR yang berasal dari Nasdem dan Demokrat masih belum menyatakan sikap mengenai revisi tersebut. Ketujuh fraksi ini sepakat untuk membahas lebih lanjut revisi UU Desa ini dalam rapat pleno DPR kedepan. Adapun beberapa fraksi saling mengemukakan pendapatnya mengenai pengesahan perpanjangan masa jabatan kepala desa, di mana Ibnu Multazam dari PKB menguslkan perubahan masa jabatan ini langsung berlaku dan hal ini kemudian disetuji Muzammil Yusuf dari PKS dengan menyebut bahwa perpanjangan ini akan segera dieksekusi setelah revisi UU Desa disetujui oleh DPR dan Pemerintah. tidak hanya pernyataan masing-masing fraksi, Badan Legislatif DPR secara resmi menyetujui pembahasan revisi tersebut ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2023 dan ini artinya revisi ini bisa disahkan dalam beberapa bulan mendatang. Soliditas yang ditunjukkan oleh ketujuh fraksi ini memang tidak bisa dianggap sebagai hal yang baru akhir-akhir ini, mengingat sikap DPR yang afirmatif ini kembali ditampakkan bila berhubungan dengan peraturan yang kontroversial.
Revisi ini tidak bisa dinafikkan sebagai “langkah kontroversi” berikutnya dari lembaga legislatif sebesar DPR, di mana revisi UU Desa ini sudah digaungkan sejak puluhan massa dari APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) melakukan demonstrasi di depan Senayan untuk mendesak DPR bulan Maret lalu. Revisi atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa pada mulanya diusulkan oleh Ahmad Doli Kurnia dari Komisi II DPR untuk dibahas segera oleh DPR. Revisi ini diekspektasikan akan memberikan kewenangan lebih besar bagi desa dalam mengatur otonominya. Salah satunya merujuk pada peningkatan alokasi Dana Desa yang lebih besar, di mana massa APDESI menuntut peningkatan dana tersebut untuk memaksimalkan program pembangunan desa beserta kesejahteraan perangkat desa yang kerap termariginalkan hingga hari ini.
Kendati alokasi Dana Desa kini sudah meningkat dibawah kepemimpinan Abdul Halim Iskandar sebagai Menteri Desa, namun alokasinya kerap tidak seimbang dengan kebutuhan desa dan pemberiannya pun bersifat fluktuatif antara satu desa dengan yang lainnya. Atas dasar itulah, revisi ini akan membuka “pintu” bagi peningkatan alokasi anggaran tersebut secara langsung dari pusat, terutama melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sebagai stakeholder utamanya. Namun kemudian, satu hal yang menjadi perhatian utama dari upaya revisi ini ialah ide perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Sebelumnya, isu ini memang sudah dihembuskan oleh Budiman Sudjatmiko, di mana ia mengklaim telah berdiskusi dengan Presiden Joko Widodo mengenai perlunya perpanjangan jabatan kepala desa. Budiman mengklaim sang presiden setuju akan ide tersebut dengan alasan bahwa perpanjangan ini akan mendorong pelayanan publik yang lebih berkualitas di tingkat desa.
Akan tetapi, usulan perpanjangan tersebut sarat akan kepentingan politik di dalamnya. Berbagai media nasioanl seperti Tempo maupun Kompas menyebut bahwa usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa ini dihembuskan oleh Istana beserta Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai mayoritas di parlemen. Hal ini didasarkan pada klaim yang disampaikan oleh Budiman Sudjatmiko bahwa masa jabatan kepala desa yang diperpanjang hingga sembilan tahun akan memampukan tata kelola pemerintahan desa secara lebih baik. Akan tetapi, perpanjangan jabatan kepala desa memang menimbulkan kontroversi sejak pertama kali digaungkan. Hal ini dikarenakan usulan tersebut justru bergaung di tengah berhembusnya upaya “licik” elite politik untuk merongrong konstitusi, baik penundaan pemilu maupun Jokowi tiga periode. Selain itu, dengan munculnya demonstrasi secara sporadis oleh massa yang mengklaim dirinya berasal dari “perwakilan kepala desa dari seluruh Indonesia”, maka ada indikasi bahwa demonstrasi tersebut “digerakkan” oleh narasi politik yang tidak konstruktif untuk meminta perpanjangan jabatan.
Dengan demikian, ketika Baleg DPR resmi memasukkan revisi UU Desa sebagai Prolegnas tahun ini, maka potensi pengesahan undang-undang baru tersebut akan segera lolos dalam waktu dekat, terlepas revisinya bersifat parsial atau total. Melalui kacamata politik, terdapat setidaknya tiga aspek yang menggambarkan bagaimana pengesahan revisi UU Desa oleh DPR ini kental akan unsur politis dan sarat akan kepentingan jangka pendek alih-alih memenuhi kebutuhan nasional jangka panjang. Pertama ialah potensi konflik yang meningkat, di mana perebutan kursi “kepala desa” selalu menjadi pertarungan sengit menjelang Pilkades. Posisi kepala desa memang strategis dalam menjalankan kehidupan politik di desa – terutama pengelolaan anggaran dan kebijakan yang sebagian besar dibebankan kepada kepala desa – dan siapapun yang memegang posisi tersebut akan mampu mengambil keuntungan yang lebih besar.
Akan tetapi, dengan pertambahan masa jabatan kepala desa yang mencapai 9 tahun, potensi konflik untuk merebut posisi kepala desa akan semakin besar. Hal ini dikarenakan pertarungan masa jabatan tersebut dapat menimbulkan kekecewaan warga desa ketika kepala desa yang bersangkutan justru tidak berkontribusi baik terhadap pembangunan desa. Pemegang kekuasaan yang terlalu lama berada di posisi disatu sisi akan memicu oposisi besar dari masyarakat. Hal tersebut dapat memicu konflik antar warga secara lebih tajam, terutama dalam memperebutkan jabatan kepala desa di periode selanjutnya, dan hal ini akan merusak kohesivitas desa dalam beberapa waktu mendatang. Kedua ialah kerentanan akan mobilisasi kepala desa oleh partai politik, di mana “ceruk pasar” konstituen di desa masih menjadi primadona dalam mengkonsolidasikan suara menjelang pemilihan umum, terutama pada Pemilu 2024 dana setelahnya. Hal ini dikarenakan persebaran demografis di Indonesia masih didominasi oleh penduduk desa dengan 40% jumlah penduduknya bermukim di desa terhitung pada tahun 2021.
Kendati jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan penduduk kota, namun militansi penduduk desa justru lebih kuat dalam mendukung tokoh lokal menjelang pemilu. Berkaca pada Pilkada maupun Pilpres yang menonjolkan keterpilihan masyarakat pada tokoh tertentu, mobilisasi massa melalui kepala desa jelas akan menguntungkan satu kandidat yang bersaing karena masyarakat pedesaan cenderung mengikuti arahan dari kepala desa. Hal ini terlihat dari pola politik di desa yang condong mendukung personalitas satu figur, baik karena kemampuan maupun reputasi. Dengan kepala desa yang menjabat selama 9 tahun, maka potensi mobilisasi suara akan semakin besar karena kepala desa memiliki otoritas yang besar dalam mendorong masyarakat. Selain itu, jika kepala desa tersebut memiliki relasi yang kuat dengan partai tertentu, maka besar kemungkinan upaya endorsement dari kades tersebut akan didukung penuh oleh warga sekitar.
Ketiga ialah politisasi anggaran yang semakin besar, di mana perpanjangan jabatan ini berpotensi mendorong terjadinya praktik korupsi yang lebih luas di desa. Sebagaimana diketahui, wacana perpanjangan ini digaungkan bersamaan dengan penambahan porsi dana desa yang “dibalut” dalam revisi UU Desa dan peningkatan alokasi dana desa sendiri juga diambil melalui APBN secara langsung tanpa diturunkan terlebih dahulu ke dalam APBD. Di satu sisi, pengelolaan dana desa secara langsung oleh perangkat desa dapat memaksimalkan pembangunan desa yang kerap “terhambat”. Namun demikian, penambahan dana desa yang cukup signifikan justru membuka peluang korupsi yang lebih besar di internal desa. Hal ini dikarenakan dana yang besar tanpa adanya mekanisme pengawasan yang ketat dari desa maupun pemangku kepentingan cenderung akan menjadi “lahan basah” buat korupsi. Laporan Indonesia Corruption Watch tahun 2020 menyebutkan sedikitnya 330 kasus korupsi justru dilakukan oleh perangkat desa.
Pengelolaan dana desa yang korup menjadi sumber permasalahannya, di mana ICW menemukan bahwa korupsi desa didominasi oleh manipulasi dana desa untuk kepentingan pribadi. Itu artinya ialah pengelolaan dana desa saat ini masih jauh dari transparansi dan akuntabilitas yang digaungkan demi pembangunan desa. Bila anggaran dana desa ditambah berbarengan dengan penambahan masa jabatan kepal desa, maka ada potensi bahwa korupsi desa yang terjadi sebelumnya akan semakin tidak terkendali dan penyalahgunaan wewenang kepala desa juga akan terbuka begitu lebar. Ketiga hal diatas menjadi gambaran bagaimana pengesahan revisi UU Desa akan menimbulkan collateral damage yang besar apabila tidak direncanakan secara matang. Selain itu, dengan revisi yang dibalut bersamaan dengan perpanjangan jabatan kepala desa yang ebgitu lama, besar kemungkinan permasalahan politik juga akan terjadi di setiap desa kedepannya ketika diterapkan tanpa didukung dengan pembenahan sistem dari dalam.
Dhien Favian (Badan Pekerja MCW)