
Majelis Hakim akhirnya membacakan Putusan atas Kasus Gratifikasi dengan Terdakwa Eddy Rumpoko pada 19 Mei 2022 kemarin. Dalam Putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, yakni pasal 12 huruf B juncto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Majelis Hakim kemudian menjatuhkan hukuman terhadap Terdakwa dengan pidana 7 (tujuh) tahun penjara dan denda sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan. Terdakwa juga diwajibkan untuk membayarkan Uang Pengganti sebesar Rp.45.923.231.400 (empat puluh lima miliar sembilan ratus dua puluh tiga juta dua ratus tiga puluh satu ribu empat ratus rupiah), dengan ketentuan apabila Terdakwa tidak membayarkan uang pengganti tersebut dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan inkracht (berkekuatan hukum tetap), maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dan apabila harta benda Terdakwa tidak mencukupi maka diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun. Pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap Terdakwa hanya selisih 1 tahun enam bulan dari apa yang dituntut oleh Tim Jaksa Penuntut Umum KPK, yakni Andri Lesmana dan Arif Usman.
Putusan Terlalu Ringan
Pada dasarnya MCW tetap menghormati Putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap Terdakwa. Namun disisi lain menyayangkan Putusan tersebut, lantaran masih terlalu ringan. Adapun Putusan tersebut diduga merupakan akibat dari Tuntutan Jaksa yang juga terlalu ringan. MCW menyayangkan analisis dangkal Tim Jaksa Penuntut Umum yang hanya berpegang pada pedoman teknis yang diatur dalam Surat Edaran (SE) Nomor SE-003/A/JA/02010 tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Korupsi. Padahal, dampak praktik Gratifikasi yang terjadi di Pemkot Batu selama 2 periode jabatan Eddy Rumpoko sangatlah masif dan merugikan.
Adapun dampak-dampak yang ditimbulkan oleh Praktik Gratifikasi selama kurun waktu 2007 hingga 2017 dan luput dari analisa Jaksa dan Majelis Hakim setidaknya mencakup hal-hal berikut ini:
- Berkurangnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Batu yang Disebabkan oleh Piutang Pajak yang Bermasalah
Dalam LHP LKPD Kota Batu tahun 2014 misalnya, disebutkan bahwa terdapat piutang Pajak Hiburan yang tidak diakui oleh WP sebesar Rp.24.555.376.610 (sudah diterbitkan SKPDKB). Berikut daftar Piutang yang tidak diakui:
Daftar Piutang Tidak Diakui
No. | Wajib Pajak | Nilai Piutang |
1 | TR Batu Night Spectacular | Rp.3.786.756.542,00 |
2 | TR Jatim Park I | Rp.14.529.110.974,00 |
3 | TR Jatim Park II | Rp.5.832.045.876 |
4 | TR Se | Rp.167.648.227 |
5 | Panti Pijat DGD | Rp.239.815.000 |
TOTAL | Rp.24.555.376.610 |
Tidak hanya menjadi temuan dalam LHP BPK tahun 2014, kejanggalan ini juga kembali menjadi temuan BPK tahun 2017 (mendekati akhir masa jabatan Eddy Rumpoko). Nominalnya bahkan meningkat menjadi sebesar Rp.25.710.560.884,00.
Piutang Macet dan Tidak Dapat Tertagih
LHP LKPD Kota Batu tahun 2015 juga menjelaskan beberapa piutang yang menurut pemerintah merupakan piutang yang macet dan tidak dapat ditagih. Berikut rinciannya.
Daftar Piutang Macet dan Tidak Dapat Ditagih per Desember 2015
Jenis Pajak | Tahun | Nilai Piutang | Kategori |
Pajak Restoran, Pajak Hiburan, dan Pajak Parkir (JTP Group) | 2004-2009 | Rp.4.780.570.826,00 | Macet |
Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, dan Pajak Parkir | 2010-2014 | Rp.19.930.908.141,00 | Tidak Dapat Ditagih |
TOTAL | Rp.24.711.478.967,00 |
Berdasarkan catatan-catatan yang dimiliki oleh MCW di tahun 2018 menunjukkan bahwa setelah dikonfirmasi BPK, pemerintah telah melakukan upaya penagihan piutang Pajak yang macet dan tidak tertagih di atas kepada JTP 1, JTP 2, Hotel PI, dan BNS. Namun, tidak mendapatkan respon sebagaimana mestinya.
Piutang Pajak yang “Menggunung”
Bila mengacu pada nilai piutang yang mengendap, maka dapat terlihat trennya yang selalu meningkat dari tahun 2013-2017. Selama kurun waktu 5 tahun tersebut (periode kedua Eddy Rumpoko), adapun piutang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Batu mencapai angka Rp.31,3 miliar. Berikut rinciannya.
Tabel, Tren Piutang PBB Kota Batu dari tahun 2013-2017
No | Tahun | Piutang |
1 | 2013 | Rp 2.180.186.079 |
2 | 2014 | Rp 3.688.562.551 |
3 | 2015 | Rp 21.172.138.776 |
4 | 2016 | Rp 26.395.847.022 |
5 | 2017 | Rp 31.377.751.191 |
Bila kemudian menghubungkan dengan kronologis yang tertera pada Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam Kasus Gratifikasi Eddy Rumpoko kali ini, maka patut diduga bahwa Piutang Pajak yang dibiarkan berlarut-larut dan semakin “menggunung” pada rentang waktu 2 periode jabatan Terdakwa, merupakan dampak konkret yang timbul dari Praktik Gratifikasi yang ia lakukan selama ia menjabat sebagai Wali Kota Batu.
- Carut-marut Proses Perijinan yang berujung pada Kerusakan Ekologis di Kota Batu
Dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, secara jelas dipaparkan kronologi yang berkaitan dengan proses perizinan yang dipermudah oleh Terdakwa. Adapun kronologi yang dimaksud yaitu ketika Terdakwa memerintahkan ENY RACHYUNINGSIH selaku Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu – Satu Pintu dan Tenaga Kerja saat itu untuk menyetujui permohonan izin tersebut diantaranya Permohonan Izin yang diajukan oleh:
- WILLY SUHARTAN terkait ijin lokasi pembangunan Hotel The Rayja Cottage, sekitar tahun 2012;
- PAUL SASTRO SENDJOJO terkait pengajuan izin untuk pembangunan kawasan Predator Fun Park yang pemiliknya masih masuk kedalam Group Jatim Park, sekitar tahun 2015; dan
- ARDA ARYANI terkait pengajuan ijin Perumahan Mutiara Residence/regency yaitu pada tahun 2015 sebanyak 7 (tujuh) unit rumah, tahun 2016 sebanyak 49 (empat puluh sembilan) unit rumah, dan tahun 2017 sebanyak 58 (lima puluh delapan) unit rumah.
Perizinan yang dipermudah tentu saja mengabaikan aspek-aspek penting yang secara esensial harus diperhatikan secara jelih oleh pemerintah ketika hendak memberikan izin kepada para pengusaha. Salah satu aspek esensial yang diabaikan oleh Pemerintah dikarenakan oleh Keserakahan Eddy Rumpoko yaitu aspek lingkungan. Bila mencermati praktik kotor di sektor perijinan di atas dan kemudian mengingat kembali bencana tanah longsor yang terjadi di Kota Batu beberapa waktu yang lalu, maka patut diduga pula bahwa adanya Praktik Gratifikasi yang terjadi selama 2 periode jabatan Eddy Rumpoko juga turut berdampak pada kerusakan Ekologis di Kota Batu.
- Kinerja KPK yang Tidak Efektif.
Pengembangan kasus yang dilakukan KPK terhadap Terdakwa Eddy Rumpoko adalah suatu hal yang biasa-biasa saja. Sebab kebanyakan alat bukti dapat diakses dengan mudah dari Kasusnya yang pertama. Terdakwa yang sedang menjalani masa hukuman pun mempermudah KPK yang tidak perlu lagi melakukan OTT. Dengan alat bukti yang selengkap itu, KPK seharusnya mampu melakukan operasi penangkapan terhadap para Pemberi Gratifikasi dan kemudian disidangkan bersamaan dengan Kasus Gratifikasi Eddy Rumpoko kali ini. Suatu kasus Gratifikasi tentunya akan terasa aneh, bila hanya mengadili Penerima Gratifikasinya saja.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dengan ini MCW menilai dan mendesak :
- Putusan yang dijatuhkan terhadap Terdakwa Eddy Rumpoko masih terlalu ringan dan merupakan akibat dari Dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang tidak memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari Gratifikasi yang terjadi selama Periode Jabatan Terdakwa.
- Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim seharusnya mencantumkan Dampak Gratifikasi, yakni Piutang Pajak dan Kerusakan Ekologis di Kota Batu sebagai “Hal-hal yang memberatkan”.
- Kinerja KPK tidak efektif lantaran tidak mampu menangkap para Pemberi Gratifikasi secara bersamaan dengan Pengembangan Kasus Gratifikasi kali ini.
- Mendesak KPK untuk segera mengusut tuntas Kasus Gratifikasi ini dengan mengadili seluruh pelaku yang terlibat, yakni para Pemberi Gratifikasi yang hingga saat ini masih belum diproses secara hukum.