
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta membacakan putusan terhadap perkara Bansos COVID-19 mantan Menteri Sosial Juliari Batubara Senin, (Tempo, 23/08/2021). Juliari dijatuhi pidana pokok 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider pidana kurungan 6 bulan, ditambah kewajiban membayar uang pengganti Rp14,5 Miliar. Apabila Juliari tidak dibayar paling lama satu bulan setelah putusan inkracht, maka harta benda terpidana dirampas oleh juru sita. Apabila harta benda tidak mencukupi membayar uang pengganti maka diganti pidana penjara selama dua tahun. Majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik, yakni ia tidak boleh dipilih untuk menduduki jabatan publik selama empat tahun setelah Juliari selesai menjalani pidana pokok.
Mejelis Hakim menilai Juliari Batubara terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dalam perkara bansos COVID-19 yang dilakukan secara bersama-sama sesuai dakwaan alternatif pertama, yakni Pasal 12 huruf b Jo. Pasal 18 atau Pasal 11 Jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah sebagian menjadi Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) angka ke-1 KUHP tentang penyertaan (Deelneming) (Masruchin Ruba’i: 2015) Jo. Pasal 64 ayat (1) angka ke-1 KUHP tentang perbuatan berlanjut (voorgezette handeling) (Eddy O.S. Hiariej: 2015).
Lantas, bagaimanakah vonis yang berkeadilan bagi Juliari mestinya?
Ratio Decidendi Konyol
Vonis yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap Juliari Batubara lebih berat dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yakni 11 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider bulan, dengan pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar. Vonis Ultra Petita, yakni putusan yang melebihi apa yang dimintakan, dalam hal ini tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Meskipun terdapat asas yang menyatakan, Judex Non-Ultra Petita (hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara melebihi apa yang dimintakan), akan tetapi bila merujuk pada perspektif hukum progresif hal tersebut (ultra petita) dapat dibenarkan sepanjang hal tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan masyarakat luas atau publik.
Meski putusan pada tingkat pertama ini tergolong sebagai Ultra Petita, namun ada yang konyol dalam dasar pertimbangan hakim (ratio decidendi) dalam kasus ini. Dalam agenda pembacaan putusan, Anggota Majelis Hakim Yusuf Pranowo menyatakan bahwa Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Terdakwa telah divonis bersalah oleh masyarakat, padahal Terdakwa masih menjalani proses hukum dan belum tentu bersalah dan belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Argumentasi tersebut dijadikan Mejalis Hakim sebagai salah satu dasar pertimbangan yang meringankan hukuman terdakwa. Padahal ekspresi kemarahan publik atas korupsi bansos COVID-19 adalah sesuatu yang wajar. Secara naluri, mana mungkin ada manusia yang tidak marah ketika hak miliknya dicuri oleh orang lain. Di sini terlihat jelas bahwa Majelis Hakim sedang mengalami sindrom Argumentum Ad Hominem alias sesat pikir bin mengada-ada.
Selain ratio decidendi konyol yang “ad hominem” tersebut, vonis yang diberikan kepada Juliari juga “suam-suam kuku”. Dikatakan ringan tidak, tapi di sisi lain juga belum maksimal. Korupsi Bansos COVID-19 yang dilakukan Juliari dan kroni-kroninya layak dijatuhi pidana mati atau setidak-tidaknya pidana penjara seumur hidup. Sebab korupsi yang dilakukan pada situasi krisis seperti pandemi COVID-19 jelas menyakiti hati rakyat kecil yang saat ini tidak tahu apakah masih bisa makan atau tidak. Penulis menduga Majelis Hakim sama sekali tidak mencium aroma keringat dan penderitaan rakyat di masa pandemi ini. Padahal, bila ingin menjatuhi hukuman mati atau setidak-tidaknya penjara seumur hidup, pasal 2 ayat (2) Undang-undang Tipikor sudah menjamin hal itu.
Tentu akan ada yang mengatakan, bahwa keadaan tertentu yang disyaratkan dalam pasal 2 ayat (2) UU ‘Tipikor’ adalah Bencana Alam Nasional, sementara pandemi COVID-19 tergolong sebagai Bencana Non Alam berdasarkan ketentuan pasal 1 angka ke-2 dan ke-3 Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Akan tetapi pada bagian penjelasan pasal 2 ayat (2) UU Tipikor disebutkan juga klausul lain, yaitu keadaan krisis ekonomi dan krisis moneter. Sayangnya, Tempus Delictie kasus ini tampaknya tidak dijadikan salah satu pisau analisis dalam dakwaan dan pertimbangan hakim.
Banding dan Kasasi
Setelah putusan dibacakan oleh Majelis Hakim, penuntut umum dan terdakwa bersama kuasa hukumnya ditanyai apakah menerima putusan tersebut atau tidak. Maqdir Ismail selaku kuasa hukum Juliari Batubara kemudian meminta waktu untuk mempelajari putusan sebelum mengambil sikap untuk menerima atau menolaknya. Ini artinya pihak Juliari Batubara menggunakan haknya sebagaimana yang dijamin dalam pasal 196 ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yakni hak mempelajari putusan sebelum menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan.
Putusan “suam-suam kuku” ini akan membuat pihak manapun, baik Juliari Batubara maupun masyarakat merasa sama-sama tidak puas dengan putusan ini. Saya memprediksi pihak Juliari Batubara akan menolak putusan ini dan memutuskan untuk melakukan upaya hukum. Upaya hukum Banding hingga kasasi akan dilakukan Juliari, selama bisa mengurangi masa pidana. Statement menjijikkan Juliari saat pembacaan pleidoi bisa menjadi petunjuk untuk memprediksi langkahnya selanjutnya. Sikap percaya diri bin tak tahu malu yang ditunjukkannya ketika memohon kepada Majalis Hakim untuk mengakhiri penderitaannya dan membebaskannya dari segala dakwaan adalah salah satu contohnya.
Bila pihak Juliari mengajukan banding, maka peluang untuk memperberat hukuman Juliari Batubara akan terbuka lebar. Sebagai masyarakat sipil, kita tinggal mengawal jalannya persidangan dan memastikan hakim tinggi dan hakim agung yang nantinya memeriksa perkara ini untuk mempertimbangkan rasa keadilan publik dan dapat memperberat vonis kepada Juliari Batubara. Meski begitu, tidak menutup kemungkinan pula hukuman Juliari akan semakin ringan nantinya ketika mengajukan banding hingga kasasi. Untuk mencegah hal ini, tentu yang harus dilakukan adalah memastikan isu ini tidak tenggelam oleh pengalihan isu-isu yang selama ini terjadi.
Vonis yang adil untuk Juliari semestinya adalah pidana seumur hidup. Sebab, bansos COVID-19 yang ia dan kroni-kroninya korupsi adalah hak rakyat miskin yang tengah menderita akibat pandemi. Terdakwa yang sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat tak dapat dijadikan sebagai ratio decidendi untuk meringankan pidana yang diberikan.
Penulis : Raymond Tobing (Badan Pekerja Malang Corruption Watch)